
Jakarta (29/10)-Pernah jadi ikan asin yang harganya Rp.1000/kg, namun  karena dianggap pembawa rejeki dan datang dari surga, Siluk atau  Arowana,-terutama yang berwarna merah diburu banyak orang.  Pembeli  bahkan rela mengeluarkan uang  jutaan rupiah.
Sebelum diburu, Ikan yang berbadan pipih,  bersisik tebal, berukuran  besar, serta ‘berkumis dan berjanggut’  ini tidak begitu disukai para  nelayan. Ikan yang di  Kalimantan disebut Ikan Naga dan di perairan Riau  disebut Ikan Surga ini dianggap buas.  Selain suka memakan ikan kecil  bahkan anaknya sendiri, Siluk juga memakan kodok. Namun dengan munculnya  mitos yang mempercayai bahwa Ikan arowana mampu membawa keberuntungan  dan ketenangan bagi pemiliknya, ikan ini kini justru menjadi primadona.  Perburuan pun marak di lakukan nelayan yang dimodali para penadah. Untuk  Ikan Siluk yang panjangnya sekitar 40 cm bisa dihargai sampai  Rp. 2,5  juta.
Di alam bebas, Ikan Siluk Merah merupakan penghuni Sungai Kapuas di  Kalimantan Barat. Ironisnya, di habitat aslinya ini, populasi Siluk  menurun pesat akibat penangkapan liar serta daya biaknya yang rendah.  Hal ini juga yang mendorong siluk masuk dalam daftar merah Convention  on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora-CITES, yang dikategorikan genting. Artinya, siluk termasuk satwa yang jumlahnya sudah sangat sedikit dan terancam punah.
Kondisi ini juga diperkuat oleh kesaksian Juniardi, Kepala Desa  Empangau, Kecamatan Bunut Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan  Barat. Ia menyatakan, semenjak 30 tahun terakhir, sudah hampir tidak  pernah ditemukan siluk di alam, hanya pada tahun 2009 pernah ditemukan  sekali di Desa Semalah.
Pemburuan siluk telah menjadi pisau bermata ganda. Satu sisi dianggap  mampu menghidupi warga setempat, namun di sisi lain jelas membuat siluk  semakin langka. Untuk menjaga kepentingan masyarakat serta nasib siluk,  maka masyarakat di sekitar Danau Merebung membuat peraturan dan menjaga  bersama. Danau Merebung adalah  salah satu dari 7 Danau di Dusun Meliau,  kabupaten Kapuas Hulu yang dilindungi oleh masyarakat adat.
Salah satu upaya perlindungan secara adat yang dilakukan adalah dengan  menetapkan zona ekonomi dan zona perlindungan yang membatasi masyarakat  untuk berburu. Selain itu juga pembatasan ukuran ikan yang ditangkap.  Secara mandiri dan dengan kesadaran yang tinggi, masyarakat melaksanakan  aturan adat tersebut sekaligus mengawasi dan memberi sanksi bagi mereka  yang melanggar.
Upaya perlindungan yang dilakukan masyarakat selama ini membuahkan hasil.  Perlahan tapi pasti, populasi ikan langka ini masih terjaga dengan baik  di alam. Hal ini terbukti oleh ditemukannya induk arwana di Danau  Merabung yang tidak sengaja tertangkap pancing oleh pemancing  professional dari Amerika. Ukuran dan beratnya pun sungguh menakjubkan.  Panjangnya 140 cm dan beratnya mencapai 6 kg. Begitu tertangkap, ikan  ini lalu dibebaskan dari mata kail dan langsung dilepaskan ke Danau  Merebung oleh seorang warga Dusun Meliau yang saat itu mendampingi  Robert Clarke, sang pemancing asal negeri Paman Sam tersebut.
“Secara tradisional, danau Merabung dan 6 danau lainnya di dusun Meliau  memang dilindungi oleh masyarakat. Namun dengan bukti penemuan ini,  patut didorong agar danau-danau di Meliau perlu mendapat proteksi yang  lebih formal dengan upaya pengusulan ke DKP sehingga secara resmi  mendapat SK perlindungan dari pemerintah daerah,” tegas Albertus Tjiu,  Project Leader WWF Kapuas Hulu.
Sejak hampir 15 tahun, WWF-Indonesia telah menggiatkan beragam upaya  pendampingan masyarakat di Kapuas Hulu. Upaya perlindungan Siluk di  Dusun Meliau pun juga menjadi salah satu prioritas kerja WWF di Kapuas  Hulu. WWF memulai inisiatif bersama perlindungan siluk pada tahun 1997  yang saat itu dipusatkan di Danau Empangau, dusun Meliau.
Sejak dulu, Danau Empangau telah menjadi habitat Ikan siluk. Namun   akibat perburuan, keberadaan ikan Siluk terancam punah pada tahun  1995-1996. Melalui upaya restocking (pelepasliaran), pembenahan  pada organisasi nelayan, pemberlakukan zona danau lindung, perumusan  bersama mengenai hukum adat hingga pengawasan oleh masyarakat setempat,  akhirnya program pendampingan masyarakat ini pun berhasil menunjukkan  dampak positifnya bagi keberlanjutan Siluk.
Sejak tahun 2000, upaya pelestarian siluk melalui restocking  telah melepas 23 ekor indukan di Danau Empangau yang kini telah  menghasilkan 192 anakan ikan senilai Rp. 840 juta. Ikan yang dilepas di  Danau Empangau ini bersumber dari swadaya masyarakat,bantuan pemerintah  daerah dan LSM lainnya. Pendekatan serupa juga akan diduplikasi di Danau  Merabung dan Danau lainnya di Kapuas Hulu.
Namun sejumlah upaya perlindungan ini masih jauh dari cukup mengingat  Perdagangan dan peredaran ikan arwana alam masih belum diatur dalam  Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam  Hayati dan Ekosistemnya. Belum lagi pembukaan lahan untuk perkebunan  kelapa sawit besar-besaran yang tentu saja berdampak pada Danau di  sekitarnya. Berbagai hal ini jika tidak segera menjadi perhatian, maka  upaya perlindungan kawasan dan spesies yang telah dilakukan selama ini  akan sia-sia belaka.
sumber: wwf-Indonesia
 
