Jumat, 16 Desember 2011

Apa kabar Sang Naga penghuni sungai Kapuas Hulu?


Oleh Iwan Setiawan & Masayu Y. Vinanda
foto: © Doc. Robert Clarke


Jakarta (29/10)-Pernah jadi ikan asin yang harganya Rp.1000/kg, namun karena dianggap pembawa rejeki dan datang dari surga, Siluk atau Arowana,-terutama yang berwarna merah diburu banyak orang. Pembeli bahkan rela mengeluarkan uang jutaan rupiah.


Sebelum diburu, Ikan yang berbadan pipih, bersisik tebal, berukuran besar, serta ‘berkumis dan berjanggut’ ini tidak begitu disukai para nelayan. Ikan yang di Kalimantan disebut Ikan Naga dan di perairan Riau disebut Ikan Surga ini dianggap buas. Selain suka memakan ikan kecil bahkan anaknya sendiri, Siluk juga memakan kodok. Namun dengan munculnya mitos yang mempercayai bahwa Ikan arowana mampu membawa keberuntungan dan ketenangan bagi pemiliknya, ikan ini kini justru menjadi primadona. Perburuan pun marak di lakukan nelayan yang dimodali para penadah. Untuk Ikan Siluk yang panjangnya sekitar 40 cm bisa dihargai sampai Rp. 2,5 juta.


Di alam bebas, Ikan Siluk Merah merupakan penghuni Sungai Kapuas di Kalimantan Barat. Ironisnya, di habitat aslinya ini, populasi Siluk menurun pesat akibat penangkapan liar serta daya biaknya yang rendah. Hal ini juga yang mendorong siluk masuk dalam daftar merah Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora-CITES, yang dikategorikan genting. Artinya, siluk termasuk satwa yang jumlahnya sudah sangat sedikit dan terancam punah.


Kondisi ini juga diperkuat oleh kesaksian Juniardi, Kepala Desa Empangau, Kecamatan Bunut Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Ia menyatakan, semenjak 30 tahun terakhir, sudah hampir tidak pernah ditemukan siluk di alam, hanya pada tahun 2009 pernah ditemukan sekali di Desa Semalah.


Pemburuan siluk telah menjadi pisau bermata ganda. Satu sisi dianggap mampu menghidupi warga setempat, namun di sisi lain jelas membuat siluk semakin langka. Untuk menjaga kepentingan masyarakat serta nasib siluk, maka masyarakat di sekitar Danau Merebung membuat peraturan dan menjaga bersama. Danau Merebung adalah salah satu dari 7 Danau di Dusun Meliau, kabupaten Kapuas Hulu yang dilindungi oleh masyarakat adat.


Salah satu upaya perlindungan secara adat yang dilakukan adalah dengan menetapkan zona ekonomi dan zona perlindungan yang membatasi masyarakat untuk berburu. Selain itu juga pembatasan ukuran ikan yang ditangkap. Secara mandiri dan dengan kesadaran yang tinggi, masyarakat melaksanakan aturan adat tersebut sekaligus mengawasi dan memberi sanksi bagi mereka yang melanggar.


Upaya perlindungan yang dilakukan masyarakat selama ini membuahkan hasil. Perlahan tapi pasti, populasi ikan langka ini masih terjaga dengan baik di alam. Hal ini terbukti oleh ditemukannya induk arwana di Danau Merabung yang tidak sengaja tertangkap pancing oleh pemancing professional dari Amerika. Ukuran dan beratnya pun sungguh menakjubkan. Panjangnya 140 cm dan beratnya mencapai 6 kg. Begitu tertangkap, ikan ini lalu dibebaskan dari mata kail dan langsung dilepaskan ke Danau Merebung oleh seorang warga Dusun Meliau yang saat itu mendampingi Robert Clarke, sang pemancing asal negeri Paman Sam tersebut.


“Secara tradisional, danau Merabung dan 6 danau lainnya di dusun Meliau memang dilindungi oleh masyarakat. Namun dengan bukti penemuan ini, patut didorong agar danau-danau di Meliau perlu mendapat proteksi yang lebih formal dengan upaya pengusulan ke DKP sehingga secara resmi mendapat SK perlindungan dari pemerintah daerah,” tegas Albertus Tjiu, Project Leader WWF Kapuas Hulu.


Sejak hampir 15 tahun, WWF-Indonesia telah menggiatkan beragam upaya pendampingan masyarakat di Kapuas Hulu. Upaya perlindungan Siluk di Dusun Meliau pun juga menjadi salah satu prioritas kerja WWF di Kapuas Hulu. WWF memulai inisiatif bersama perlindungan siluk pada tahun 1997 yang saat itu dipusatkan di Danau Empangau, dusun Meliau.


Sejak dulu, Danau Empangau telah menjadi habitat Ikan siluk. Namun akibat perburuan, keberadaan ikan Siluk terancam punah pada tahun 1995-1996. Melalui upaya restocking (pelepasliaran), pembenahan pada organisasi nelayan, pemberlakukan zona danau lindung, perumusan bersama mengenai hukum adat hingga pengawasan oleh masyarakat setempat, akhirnya program pendampingan masyarakat ini pun berhasil menunjukkan dampak positifnya bagi keberlanjutan Siluk.


Sejak tahun 2000, upaya pelestarian siluk melalui restocking telah melepas 23 ekor indukan di Danau Empangau yang kini telah menghasilkan 192 anakan ikan senilai Rp. 840 juta. Ikan yang dilepas di Danau Empangau ini bersumber dari swadaya masyarakat,bantuan pemerintah daerah dan LSM lainnya. Pendekatan serupa juga akan diduplikasi di Danau Merabung dan Danau lainnya di Kapuas Hulu.


Namun sejumlah upaya perlindungan ini masih jauh dari cukup mengingat Perdagangan dan peredaran ikan arwana alam masih belum diatur dalam Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Belum lagi pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit besar-besaran yang tentu saja berdampak pada Danau di sekitarnya. Berbagai hal ini jika tidak segera menjadi perhatian, maka upaya perlindungan kawasan dan spesies yang telah dilakukan selama ini akan sia-sia belaka.

sumber: wwf-Indonesia