Selasa, 10 April 2012

Lumba-lumba Hidup Lebih Terbuka



WASHINGTON, KOMPAS.com — Kebanyakan mamalia hidup bersama-sama di sebuah teritori tertentu. Mereka menganggap grup lain dari spesies yang sama maupun berbeda sebagai musuh.

Tetapi, tak demikian halnya dengan lumba-lumba hidung botol. Mereka hidup dalam "masyarakat terbuka", tak benar-benar terbatas pada satu teritori.

Setidaknya, inilah temuan Richard Connor, biolog dari UMass Darthmouth, Massachusetts, AS, yang dipublikasikan di Proceeding of the Royal Society B baru-baru ini.

Connor dan rekannya meneliti 120 lumba-lumba hidung botol di Shark Bay, Australia Barat. Penelitian memfokuskan pada lumba-lumba jantan dan kehidupan sosialnya yang kompleks.

Hidup terbuka dan bebas berenang ke mana saja membuat kawanan lumba-lumba kadang bertemu dengan kawanan lainnya. Peneliti menemukan bahwa lumba-lumba memiliki respons cerdas dengan membentuk aliansi.

Aliansi terkecil bisa terbentuk antara dua atau tiga pejantan yang akan berusaha mencari betina untuk dikawini. Aliansi ini bisa bertahan hingga berbulan-bulan.

Aliansi yang lebih besar bisa terbentuk antara 4-14 pejantan yang bekerja sama untuk menyerang grup lain guna menculik betina atau mempertahankan diri dari serangan grup lain.

Sementara aliansi yang terbesar, lumba-lumba hidung botol, bisa membentuk aliansi besar untuk menjadi tentara yang mempertahankan betina dari aliansi lain yang lebih besar.

Jadi, begitu bertemu grup lain, lumba-lumba hidung botol tak langsung menyerang. Mereka lebih suka cara damai dengan membentuk aliansi dan bahkan bisa berpindah grup.

Perilaku lumba-lumba ini berbeda dengan mamalia umumnya, seperti simpanse. Mamalia lain hidup dalam grup "semi-tertutup" yang biasanya menganggap koloni lain sebagai musuh dan cenderung menyerangnya.

Connor mengungkapkan bahwa perilaku lumba-lumba mencerminkan kecerdasannya. Dikatakan, butuh kecerdasan tinggi untuk membentuk aliansi serta mengidentifikasi kawan dan lawan.

"Ini mendukung ide bahwa evolusi otak yang sangat besar dipacu oleh sistem hubungan sosial yang kompleks," kata Connor seperti dikutip BBC, Selasa (27/3/2012).

Menurut Connor, hanya manusia yang memiliki kemampuan mirip lumba-lumba hidung botol ini. Penemuan ini semakin membuktikan bahwa kecerdasan lumba-lumba bukan cuma isapan jempol.

Sumber: sains.kompas.com

Minggu, 08 April 2012

Proposal Riset: FISIOLOGI MOLTING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) PADA MEDIA SALINITAS BERBEDA

Akbar Marzuki Tahya
akbarmarzukitahya@yahoo.co.id

PENDAHULUAN
Molting merupakan proses fisiologi yang terjadi pada krustase termasuk rajungan jenis Portunus pelagicus. Istilah molting dikenal pula dengan ganti kulit yang menjadikan bagian terluar tubuh pada rajungan dan kerabatnya menjadi sangat lunak dan berbeda dari biasanya. Proses molting ini terjadi selama hidup dengan mengakumulasi berbagai macam penunjang kebutuhan untuk berlangsungnya pergantian kulit yang sempurna.
Rajungan merupakan krustase laut yang sensitif terhadap perubahan lingkungan tempat hidupnya. Salah satu perubahan lingkungan yang sering terjadi pada media budidaya adalah salinitas. Dengan perubahan salinitas, rajungan akan mengalami tekanan fisiologis yang memaksa untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan tersebut, akibatnya pendanaan energi rajungan terbagi. Perubahan lingkungan yang terjadi secara simultan berakibat pada tingginya mortalitas dan persentase gagal molting pada rajungan.
Performa fisiologi menjadi salah satu indikator untuk memberikan informasi mengenai stres yang terjadi pada rajungan akibat perubahan salinitas. Dengan adanya penelitian ini, fisiologi perkembangan dan pertumbuhan rajungan dapat diamati dan menjadi indikasi berlangsungnya proses molting. Dengan demikian proses molting dapat diamati secara akurat melalui pendekatan fisiologi pertumbuhan kutikula baru dan menjadi acuan untuk evaluasi level optimal salinitas yang menunjang molting pada rajungan. Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting untuk dilakukan.

Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi respon fisiologi rajungan yang terkait dengan proses molting terhadap berbagai salinitas dan menentukan level optimal salinitas untuk aktifitas fisiologi.
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi kemajuan teknologi budidaya rajungan dan menjadi acuan untuk pemeliharaan rajungan pada salinitas optimal.

Hipotesis
Salinitas berbeda akan mempengaruhi respon fisiologi molting rajungan, dan terdapat level salinitas optimal yang dapat menunjang performa fisiologis untuk berlangsungnya molting yang sempurna.

METODE PENELITIAN

Hewan uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah rajungan jenis Portunus pelagicus dewasa berukuran lebar karapas ± 7 cm dan bobot badan ± 60 gram. Semua rajungan yang digunakan berada pada fase intermolt. Dan untuk menghomogenkan hewan uji maka, rajungan yang digunakan berasal dari satu panti pembenihan.

Penelitian ini akan menggunakan bak beton berukuran panjang, lebar dan tinggi masing-masing 2x2x1 m, yang telah diatapi. Bagian dasar bak diberi substrat pasir pantai putih dengan pecahan karang halus setebal ±15 cm yang diupayakan menyerupai habitat alami. Bak diisi air laut setinggi 25 cm, dan dilengkapi 4 buah selang aerasi dengan bukaan udara maksimum selama proses pemeliharaan berlangsung.

Salinitas merupakan perlakuan yang diujikan pada penelitian ini. Adapun taraf salinitas yang dimaksud: (A). 24 ppt, (B). 27 ppt, (C). 30 ppt, (D). 33 ppt, (E). 36 ppt.

Parameter peubah yang diamati meliputi: konsumsi oksigen, komposisi kimia tubuh, retraksi epipodit, perkembangan kutikula baru, persentase ekdisis, pertumbuhan, mortalitas, titer ekdisteroid dalam hemolimph, dan lama waktu yang dibutuhkan untuk ekdisis sejak intermolt.

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis sidik ragam, dan secara deskriptif dengan menggunakan bantuan tabel dan grafik.

Download Sinopsis Riset