Minggu, 06 November 2011

KIsah dari Pulau Komodo

Hari itu tanggal 18 Juli 1974. Serombongan penggelana tiba di Komodo. Mereka datang dengan kapal. Jauh dari Eropa. Ikut dalam rombongan itu Baron Rudolf von Reding Biberegg. Ia seorang penggelana dari negeri Swiss. Usianya sudah petang. 78 tahun. Sudah lama ia bermimpi melancong ke Pulau Komodo. Sejumlah tempat nan ganas di beberapa negara sudah disinggahi. Hari itu bersama sejumlah kawannya mereka tracking ke Ponceng.

Ponceng adalah sebuah puncak di Pulau Komodo. Entah kenapa, Baron berpisah dari rombongan. Dari kejauhan ia terlihat duduk di sebuah bukit. Dari bukit itu ia melambaikan tangan kepada teman-temannya. Sesudah itu ia lenyap. Rekan-rekan, para pawang dan warga setempat menggelar operasi pencarian. Tapi Baron tak tampak.

Yang ditemukan cuma tripod, kamera dan sepatunya yang berlumuran darah. Di bukit tempat sang baron menghilang, warga mendirikan salib bertuliskan “Untuk Mengenang Baron Rudolf von Reding Biberegg, lahir di Swiss 8 Agustus 1895 dan hilang di pulau ini tanggal 18 Juli 1974”.

Kisah soal baron Rudolf ini selalu dikenang warga. Para pawang meneruskan cerita ini kepada pawang pemula agar mereka berhati-hati memandu turis ke hutan. Itu pengalaman berharga. “Itu membuktikan bahwa jika melanggar aturan di daerah buas, maka fatal akibatnya,” tegas Abdullah.

Komodo memang buas. Bisa membunuh dengan fisik yang kuat. Juga racun dari mulutnya. Para peneliti dari Australia, sebagaimana disiarkan laman stasiun televisi al-Jazeera, Selasa 19 Mei 2009, menemukan racun yang bisa menyebabkan shock dan menurunkan tekanan darah dalam mulut Komodo. Sebelumnya sejumlah ahli menduga hewan ini memiliki berjuta bakteri di air liurnya. Diserbu bakteri dalam jumlah massal orang bisa tewas.

Para peneliti dari Australia itu memakai tampilan gambar beresonansi magnetik.
Bryan Fry, ketua tim peneliti dari Universitas Melbourne itu, menegaskan bahwa gambar dari komputer menunjukkan komodo melakukan manuver "cengkeram dan robek" saat menggigit tubuh korban. Manuver itu sama dengan yang dilakukan ikan hiu.

Fry sempat menyingkirkan kelenjar bisa dari seekor komodo yang sakit parah di Kebun Binatang Singapura untuk diteliti. Kelenjar itu mengandung racun mematikan yang menyebabkan keram yang hebat pada perut dan menyebabkan hypothermia, dan turunnya tekanan darah. Fry juga mengatakan bahwa bisa itu mampu mencegah darah untuk menggumpal.

Dia menilai bahwa tekanan darah turun secara cepat memperlemah tubuh. Lalu "habis" bersamaan dengan banyaknya darah yang keluar.

Darah yang keluar kelewat banyak dan racun itulah yang menyudahi Muhammad Anwar, Senin 23 Maret 2009. Hari itu, pria berusia 31 tahun ini memanjat pohon nira. Air nira itu akan diolah menjadi gula. Entah karena kurang awas, Anwar jatuh. Ia langsung dikeroyok dua Komodo. Tidak seimbang memang. Anwar babak belur.

Warga bisa menghalau dua hewan itu, tapi Anwar sudah terkulai. "Kedua tangan, tubuh, kaki, sampai leher digigit komodo," kata Theresia Tawa, tetangga korban sebagaimana dikutip AP, Selasa 24 Maret 2009. Ia sempat dilarikan ke Rumah Sakit Umum di Labuan Bajo. Tapi nyawanya tidak tertolong.

Kisah seperti ini banyak terjadi di sana. Ada yang tewas, ada juga yang selamat. Salah satu yang selamat adalah Main. Ia seorang penjaga hutan. Berusia 46 tahun. Suatu ketika ia sedang duduk santai di rumah panggung. Tanpa di sadari dua Komodo merayap naik. Keduanya cepat menyergap. Satu di kaki. Satu lagi hendak mengunyah tangan. Untung dia berteriak. Lalu melompat lewat jendela. Ia selamat tapi ada 30 jahitan di kaki dan tangan.

Laporan Jo Kenaru/ Pulau Komodo
VIVAnews