Klik judul untuk download paper
Referensi: Karim MY, Azis HY, Muslimin, Tahya AM. 2016. Nutrient content of body and growth as physiological responses of mud crab Scylla olivacea reared male monosex in mangrove. IJ Pharmtech Research. 9(6): 336-338.
Sistem budidaya intensif yang banyak diterapkan oleh petani tambak terutama bagi yang memiliki modal besar dianggap sangat tidak ramah lingkungan. Seringkali sistem budidaya tersebut sangat tidak mempertimbangkan aspek lingkungan bahkan hutan mangrove sebagai pagar hijau dikoversi menjadi area budidaya yang akhirnya berimbas pada penurunan kualitas lingkungan dan terancamnya berbagai jenis fauna penghuni mangrove. Oleh sebab itu, diperlukan pertimbangan mengenai fungsi mangrove secara rasional dan berwawasan lingkungan dengan menerapkan suatu sistem yang dapat menjamin kedua kepentingan tersebut, salah satunya adalah silvofishery (tumpang sari).
Sistem budidaya ramah lingkungan Sylvofishery saat ini mulai banyak diterapkan. Pemanfaatan ekosistem mangrove sebagi area budidaya memberi banyak keuntungan karena secara alami ekosistem mangrove sangat kaya dengan nutrien dan pakan alami bagi organisme budidaya. Akar mangrove yang secara alami menyaring air di area budidaya menjadikan kualitas air tetap terjaga pada kondisi optimum. Hampir semua jenis biota ekonomis dapat dibudidayakan dengan sistem sylvofishery. Salah satu organisme budidaya yang banyak dibudidayakan pada ekosistem mangrove adalah kepiting bakau (Scylla olivacea) dengan sistem usaha penggemukan.
Penggemukan kepiting bakau merupakan suatu usaha budidaya untuk menambah bobot kepiting yang semula masih kurus menjadi kepiting yang gemuk. Usaha penggemukan kepiting potensial untuk dikembangkan karena hanya memerlukan modal kecil, waktu pemeliharaan singkat, dan teknologi sederhana. Upaya produksi kepiting bakau melalui kegiatan penggemukan telah dilakukan di beberapa wilayah antara lain Trino dan Rodriguez (2001), Begum et al. (2009), Duraisamy et al (2009), Shantanakumar et al. (2010). Namun demikian, produksi yang dihasilkan belum maksimal terutama pada aspek pertumbuhan dan sintasan kepiting karena berbagai permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan tersebut, diantaranya metode budidaya yang digunakan. Dengan kata lain kegiatan budidaya harus memperhatikan behavior dari kepiting yakni salah satunya sifat kanibalisme. Oleh karena kuatnya saling memangsa maka pemeliharaannya memerlukan strategi yang tepat.
Strategi yang dapat ditempuh untuk mengurangi terjadinya pemangsaan pada penggemukan kepiting adalah penyediaan tempat berlindung, memisahkan antara kepiting jantan dan betina, dan menentukan padat penebaran yang tepat. Shakir dkk. (2010) kepadatan penebaran merupakan salah satu faktor teknis yang secara langsung mempengaruhi sintasan, pertumbuhan, tingkah laku, dan produksi. Hasil penelitian Bolasina dkk. (2006) menemukan bahwa kepadatan penebaran sangat berpengaruh pada Javanese flounder dan menyebabkan hirarki sosial pada kepadatan tinggi yang selanjutnya menyebabkan pertumbuhan yang rendah. Selanjutnya Dong dkk. (2010) dan Liang dkk. (2010) mengemukakan bahwa peningkatan kepadatan secara nyata menghambat pertumbuhan invertebrata. Menurut Pei dkk. (2012) stres kepadatan dapat menstimulasi sistem neuroendokrin individu subdominan, mempercepat konsumsi energi dan akhirnya memainkan peranan terhadap perubahan kandungan nutrien atau komposisi biokimia individu. Pada kondisi stres kepiting akan menggunakan sejumlah nutrien dari jaringan sehingga kandungan nutrien menurun.
Oleh karena itu, penelitian penting dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia tubuh kepiting yang nantinya akan menjadi dasar informasi dalam menentukan tingkat kepadatan yang baik dalam usaha penggemukan kepiting dengan sistem monosex jantan di area mangrove.